Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Indonesia Sehat Terkendala Pelayanan Di Bawah Standar

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Rabu, 31 Oktober 2018, 11:30 WIB
rmol news logo Kendati sudah berjalan lima tahun, sistem jaminan kesehatan nasional yang dikenal dengan BPJS Kesehatan terus menyisakan pekerjaan rumah, antara lain soal pelayanan kepada pasien.

Menurut dokter Enozthezia Xynta, hal itu terjadi karena tenaga kesehatan seolah dipaksa untuk memberikan layanan sesuai anggaran yang diberikan BPJS Kesehatan.

"Sebetulnya bukan dokter yang memberikan pelayanan di bawah standar, tapi memang aturan yang diterapkan BPJS," jelas dokter anestesi yang pernah menulis surat terbuka untuk Presiden Jokowi, tentang rasa kecewanya terhadap pelaksanaan BPJS Kesehatan.

Eno mencontohkan, operasi cesar sebelum ada BPJS berkisar di angka Rp 6 juta. Saat ini, dengan diterapkan BPJS, pasien membayar Rp 4,3 juta.

"Kita (dokter) terkurung dengan harga yang sudah ditetapkan," ujarnya.

Masih menurut Eno, jika biaya yang dikeluarkan lebih dari apa yang sudah diatur BPJS, biasanya rumah sakit atau dokter yang bersangkutan harus menanggungnya.

"Jasa dokternya lah yang dipotong dan kadang jasa visit kita nggak dihitung," katanya.

Ini salah satu penyebab pelayanan menjadi sub standart. Padahal, lanjut Eno, untuk dokter umum di poliklinik misalnya, jasa dokter dan sebagainya hanya dibayar Rp 10 ribu.

Memang ada Peraturan Presiden (Perpres) No 82 Tahun 2018 yang menyebutkan bahwa pasien bisa membayar tambahan dari pelayanan yang diberikan oleh BPJS. Namun menurut Eno, ini menjadi masalah baru. Pertama, ada resiko dokter akan dilaporkan. Kedua, dokter akan ditegur oleh BPJS dan ketiga, tentu masyarakat akan memandang profesi dokter menjadi hina.

"Kita tidak akan mengambil resiko itu," kata Eno.

Perlakuan sub standart ini bukan hanya dalam sisi pelayanan tapi juga pemberian obat yang cenderung under treatment. Ada yang disebut Formulariom Nasional (Fornas), daftar obat yang secara empirik diperlukan oleh masyarakat di Indonesia.  

BPJS sendiri melalui Kepala Hubungan Masyarakat, Iqbal Anas Ma'ruf menyatakan bahwa Fornas yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan sebagai acuan untuk penyediaan obat yang masuk dalam program JKN.

"Memang harus dikendalikan. Karena jika dibiarkan liar, nego harga obat dengan pabrikan akan sulit,” katanya.

Tim Fornas, kata Iqbal, memang sudah terpilih dari kalangan farmakologi. Penyusunan tim Fornas melalui proses yang panjang. Jika memang keluhannya bahwa dokter tidak memiliki keleluasaan dalam memberikan obat, maka justru menurut Iqbal, logika ini menjadi terbalik.

"Dokter kan tidak bisa menulis merk obat, dia hanya memberikan bahan aktifnya," katanya.[wid]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA