Akhir pekan, Minggu (23/8), FDA sudah mengesahkan penggunaan plasma darah untuk perawatan pasien Covid-19 di tengah kritikan Presiden Donald Trump bahwa badan tersebut berusaha untuk menghalangi peluncuran vaksin virus corona.
Meski begitu, WHO pada Senin (24/8) mengaku masih sangat berhati-hati dalam mendukung metode pengobatan tersebut mengingat belum ada bukti yang cukup meyakinkan.
"Hanya beberapa uji klinis plasma telah membuahkan hasil, setidaknya bukti sejauh ini belum cukup meyakinkan untuk mendukungnya digunakan sebagai terapi eksperimental," ujar kepala ilmuan WHO, Soumya Swaminathan seperti dikutip
AsiaOne.
Menurut Swaminathan, hanya terdapat bukti kecil yang menunjukkan metode plasma darah bermanfaat untuk mengobati pasien Covid-19. Sehingga masih diperlukan evaluasi lebih lanjut terkait metode tersebut.
"Saat ini, kualitas bukti masih sangat rendah," ucapnya.
Teknik plasma darah atau plasma penyembuhan sudah lama digunakan untuk mengobati berbagai penyakit. Metode tersebut dilakukan dengan mengambil plasma darah yang kaya akan antibodi dari pasien Covid-19 yang sudah sembuh.
Plasma tersebut kemudian diberikan pada pasien yang menderita infeksi virus corona yang parah dengan harapan mereka akan sembuh lebih cepat.
Tantangan dalam plasma darah, kata Swaminathan, adalah variabilitasnya. Plasma darah diambil dari banyak orang sehingga menghasilkan produk yang kurang berstandar jika dibandingkan dengan antibodi monoklonal yang dibuat di laboratorium.
Selain itu, penasihat senior WHO, Bruce Aylward mengatakan, ada potensi risiko keamanan yang harus diperhatikan dengan seksama.
"Ada sejumlah efek samping. Mulai dari demam ringan hingga cedera paru-paru parah atau kelebihan sirkulasi. Untuk alasan itu, hasil uji klinis sangat penting," terangnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: