Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Bukan Masalah Akumulasi Data Seperti Kata LBP, LaporCovid-19 Temukan Gap Pendataan Kematian di Pusat dan Daerah

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-satryo-1'>AHMAD SATRYO</a>
LAPORAN: AHMAD SATRYO
  • Rabu, 11 Agustus 2021, 14:31 WIB
Bukan Masalah Akumulasi Data Seperti Kata LBP, LaporCovid-19 Temukan Gap Pendataan Kematian di Pusat dan Daerah
Tangkap layar dokumen selisih pendataan kasus kematian di pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang dihimpun Tim LaporCovid-19 per 7 Agustus 2020/RMOL
rmol news logo Alasan yang disampaikan pemerintah untuk menghapus indikator kematian Covid-19, dalam rangka menetapkan kebijakan penanganan pandemi, tidak sama dengan temuan lapangan LaporCovid-19.

Analis Data Koalisi Warga untuk LaporCovid-19, Said Fariz Hibban menganulir alasan pemerintah terkait penhapusan indikator kematian Covid-19, yang disampaikan Koordinator Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) wilayah Pulau Jawa-Bali, Luhut Binsar Pandjaitan (LBP), dalam jumpa pers Senin (9/8).

Menurutnya, alasan akumulasi data kematian Covid-19 yang disampaikan LBP tidak sepenuhnya benar. Karena, pada dasarnya, letak permasalahan ada di akurasi pendataan yang dilakukan pemerintah pusat, di mana terjadi gap atau selisih dengan data yang dilaporkan pemerintah daerah.

Said menjabarkan, berdasarkan data yang dikumpulkan tim LaporCovid19 ada lebih dari 19.000 kematian yang sudah dilaporkan oleh pemerintah kabupaten/kota, tapi tak tercatat di data pemerintah pusat.

Data dari 510 pemerintah kabupaten/kota yang dikumpulkan tim LaporCovid19 menunjukkan, hingga 7 Agustus 2021, terdapat 124.790 warga yang meninggal dengan status positif Covid-19.

"Sementara itu, jumlah kematian positif Covid-19 yang dipublikasikan pemerintah pusat pada waktu yang sama sebanyak 105.598 orang. Artinya, antara data pemerintah kabupaten/kota dengan pemerintah pusat, terdapat selisih 19.192 kematian," ujar Said dalam keteangan tertulis yang diposting melalui laman LaporCovid19.org, Rabu (11/8).

Said juga menjabarkan, ada 10 provinsi dengan selisih angka kematian terbesar. Arti dari sellisih angka yang dimaksud adalah data kematian di daerah tidak diinput ke dalam pendataan nasional.

Di antaranya, di Jawa Tengah ada 9.662 kasus kematian yang tidak dimasukkan ke dalam pendataan nasional. Kemudian Jawa Barat sebanyak 6.215 kasus kematian, DI Yogyakarta 889, Papua 663, Kalimantan Barat 643, Sumatera Utara 616, Kalimantan Tengah 301, Jawa Timur 294, Banten 140, dan Nusa Tenggara Barat 112.

Selain itu, Said juga menyatakan bahwa data kematian yang selama ini dipublikasikan pemerintah belum mencakup kematian warga dengan status probable. Berdasarkan data yang dikumpulkan LaporCovid19, akumulasi kematian probable di Indonesia setidaknya telah mencapai 26.326 jiwa.

"Oleh karena itu, jika kematian positif Covid-19 diakumulasikan dengan kematian probable, total kematian terkait pandemi di Indonesia telah mencapai 151.116 jiwa," bebernya.

Di sisi lain, Said juga menerangkan jumlah kematian yang terjadi di luar rumah sakit hingga saat ini belum tercatat secara baik dalam sistem pencatatan milik pemerintah. Padahal, berdasar data yang dikumpulkan tim LaporCovid19, banyak warga yang meninggal saat menjalani isolasi mandiri di rumah atau tempat lain.

"Sejak awal Juni hingga 7 Agustus 2021, tim LaporCovid19 mencatat sedikitnya 3.007 warga meninggal di luar rumah sakit. Jumlah kematian yang sesungguhnya bisa jadi jauh lebih banyak karena data itu baru berasal dari 108 kota/kabupaten di 25 provinsi," ungkapnya.

Maka dari itu, Tim LaporCovid-19 meminta pemerintah untuk memperbaiki sengkarut data kematian Covid-19, bukan justru menghapusnya dari indikator penanganan pandemi.

Terkait permintaan timnya tersebut, Said menyatakan bahwa keputusan pemerintah tak memakai data kematian dalam evaluasi PPKM Level 4 dan 3 tentu patut dipertanyakan. Sebab, data kematian adalah indikator yang sangat penting untuk melihat seberapa efektif penanganan pandemi Covid-19 yang telah dilakukan pemerintah.

Sehingga degan melihat itu, Said menegaskan soal ketidakakuratan data kematian yang ada seharusnya tidak menjadi alasan bagi pemerintah untuk mengabaikan data tersebut. Dengan menyadari bahwa data kematian itu tidak akurat, pemerintah seharusnya berupaya memperbaiki data tersebut agar benar-benar akurat.

"Apalagi, data kematian yang selama ini diumumkan oleh pemerintah pun sebenarnya belum cukup untuk menggambarkan betapa besarnya dampak pandemi Covid-19," katanya.

"Hal ini karena jumlah kematian yang diumumkan pemerintah pusat ternyata masih jauh lebih sedikit dibanding data yang dilaporkan pemerintah daerah,"  demikian Said. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA